Selasa, 12 Oktober 2010

PETANI INDONESIA DALAM PANDANGAN SAYA

Saya hari ini bisa makan nasi, anda yang membaca tulisan ini tentu juga bisa makan nasi, para tuan-tuan jelas bisa makan nasi, para pemimpin sampai kekenyangan nasi, tetapi apakah anda tahu kalau yang menanam padi agar menjadi nasi ini terkadang tidak bisa makan nasi. Sungguh TRAGIS nasib saudara-saudara kita, kaum petani kecil di Indonesia, yang jumlahnya puluhan juta, mungkin bahkan ratusan juta.

Iklim di Indonesia sangatlah cocok untuk mengembangkan usaha pertanian, terutama tanaman padi dan bahan kebutuhan pangan lainnya, selain itu juga masih cukup tersedianya lahan yang bisa dijadikan areal pertanian, akan tetapi pada kenyataannya saat ini sulit sekali kita melihat minat kaum muda untuk mau menggeluti bidang ini, baik sebagai pemilik ataupun sebagai pekerjannya, apa penyebab hal ini terjadi?

Satu bidang usaha akan diminati dan dijalankan jika memberikan keuntungan yang layak dan memadai jika dibandingkan dengan resiiko yang akan dihadapinya.
Berikut analisa usaha tanam padi 1 ha sawah Thn 2007,  yang saya sadur dari  situs yang mengkhususkan penelitian usaha tanam padi.


Jumlah Biaya 4.825.000
Hasil/masa tanam Komponen Out put
-Produksi padi
(Harga padi Rp. 2.000,-/kg diprediksi     harga sama)
5ton
10.000.000


Keuntungan 5.175.000

Dengan asumsi tidak ada kegagalan panen karena hama, keuntungan untuk 1 ha sawah adalah Rp. 5.175.000/4 bln, atau  Rp. 1.293.750/bulan. Jika gagal maka akan tidak makan 4 bulan para petani kita.
Jika pemilik sawah saja hanya mendapatkan hasil yang sangat minim perbulannya dengan asumsi memiliki 1 ha sawah, padahal banyak sekali yang memiliki lahan kurang dari itu, bagaimana lagi dengan nasib bagi buruhnya?

Bisakah kita bayangkan bagaimana berat perjuangan mereka untuk menyediakan pangan bagi kita, oleh karena itu banyak kaum muda yang sama sekali tidak melirik terhadap industri pertanian ini.
Semua ini adalah kesalahan pemerintah dalam membangun industri pertaniannya, dengan menetapkan harga dasar gabah untuk membeli hasil olah sawah petani melalui Bulog yang sangat memberatkan petani tanpa melihat akibatnya bagi petani.

Masyarakat petani yang jumlahnya ratusan juta itu tidak memiliki daya beli untuk menyerap hasil industri lainnya, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi di segala sektor bagaikan jalan di tempat saja.
Saya tidak tahu bagaimana cara mereka para pemimpin dalam  menghitungnya standart harga komoditas pertanian, atau hanya agar mereka tetap bisa membeli hasil pertanian untuk keluarganya yang sudah sangat kaya raya dengan murah?

Jika alasannya, agar masyarakat tidak diberatkan dengan tingginya harga bahan kebutuhan pokok, ya sebaiknya disubsidi saja masyarakat menengah ke bawah dengan uang hasil pajak dan keuntungan BUMN-BUMN( jangan pajak dan keuntungan BUMN tersebut digunakan untuk memperkaya diri sendiri ). Di beli saja gabah “petani” oleh pemerintah setinggi-tingginya lalu di jual lagi  dengan murah oleh BULOG kepada seluruh masyarakat umum menengah ke bawah, dan diawasi agar tidak ada penyelewengan dan kecurangan.

Tidakkah kita melihat, bagaimana para kaum muda akhirnya terpaksa mau bekerja menjadi buruh pabrik dengan UMR yang sangat rendah, hal ini dikarenakan tenaga kerja Indonesia dikampanyekan pemerintahnya sendiri sebagai tenaga kerja yang murah kepada negara-negara asing, tentu saja keadaan ini dimanfaatkan oleh kaum industrialis asing juga industriawan nasional yang tidak berjiwa nasionalis untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa ini.

Masyarakat kita yang sebagian besar adalah petani kecil saat ini sangat memprihatinkan nasibnya, silahkan anda lihat sendiri kehidupan mereka di desa-desa seluruh pelosok Indonesia. Lihatlah rumah mereka, makanan mereka, pakaian mereka. Sungguh bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan para pemimpin negeri ini.

Marilah kita mulai memikirkan jalan keluar bagi mereka dengan sungguh-sungguh, pertama-tama rubahlah cara pemerintah dalam menentukan harga jual hasil olah sawah yang selama ini diberlakukan dengan mengganti “Harga Dasar Gabah” petani kita, menjadi “Harga Layak Gabah” bagi standar hidup masyarakat petani Indonesia, agar petani memiliki kemampuan dan daya beli untuk menyerap hasil industri lainnya.

Belajarlah wahai pemimpin, untuk menyikapi keadaan rakyat bangsa ini dengen lebih adil dan bijaksana dengan landasan moral dan etika yang tinggi!!!